Usulan Legislator agar Masyarakat tak Terbebani Pajak Tambahan
JAKARTA — Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen dinilai akan berdampak negatif terhadap pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Hal ini disampaikan oleh Anggota Komisi VII DPR RI, Hendry Munief.
“Pasca Covid-19, ekonomi kita belum sepenuhnya pulih. Hal ini terbukti dari pendapatan pajak tahun 2024 yang tidak mencapai target. Jika PPN dinaikkan pada tahun 2025, bukan hanya ekonomi yang tidak bertumbuh, tetapi juga bisa menghambat Indonesia dalam upayanya menjadi negara maju,” kata Hendry dikutip dari laman DPR RI.
Hendry Munief meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali rencana kenaikan PPN demi menjaga stabilitas ekonomi Indonesia pada 2025. Menurutnya, saat ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan pajak, terutama ketika semua pihak tengah berupaya memulihkan ekonomi nasional.
Ia mengungkapkan, UMKM memiliki peran besar dalam perekonomian Indonesia dengan kontribusi mencapai 99 persen dari keseluruhan unit usaha. Pada 2023, jumlah pelaku UMKM tercatat sekitar 66 juta, dengan kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar 61 persen, atau setara Rp 9.580 triliun.
“Yang pertama merasakan dampak kenaikan pajak ini adalah sektor UMKM, baik yang mandiri maupun yang berfungsi sebagai mitra atau pendukung industri besar. Logikanya, kenaikan pajak ini akan berdampak pada 61 persen perekonomian nasional,” ucap Hendry Munief.
Dia juga menegaskan bahwa salah satu dampak dari kenaikan pajak adalah penurunan daya beli masyarakat. Sekitar 60 persen perekonomian Indonesia masih bergantung pada sektor konsumsi, khususnya dari kelas menengah ke bawah yang memiliki karakteristik konsumtif. Oleh karena itu, kenaikan PPN ini berpotensi menurunkan tingkat konsumsi masyarakat.
“Penurunan daya beli ini bisa menyebabkan kelas menengah turun ke kelas bawah. Dalam lima tahun terakhir, kita kehilangan 9,48 juta orang dari kelas menengah. Jika kenaikan PPN tetap dilaksanakan, kelas bawah akan semakin bertambah, dan ini berbahaya bagi ekonomi kita,” ucap Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) PKS Komisi VII ini.
Ia mengusulkan agar pemerintah mencari alternatif lain dalam meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani masyarakat dengan kenaikan pajak. “Masih banyak instrumen fiskal yang bisa dimaksimalkan, seperti penguatan pajak penghasilan bagi sektor-sektor yang masih bertahan atau peningkatan penerimaan dari sektor pertambangan dan ekspor komoditas. Cara-cara ini lebih elegan dan tidak langsung membebani daya beli masyarakat,” kata Hendry.
Hendry juga menyoroti dampak lanjutan terhadap harga barang. “Kenaikan harga produk akan terjadi jika perusahaan memilih untuk mempertahankan jumlah tenaga kerjanya. Akibatnya, keuntungan sektor swasta akan menurun, yang pada gilirannya mengurangi investasi serta menurunkan penyerapan tenaga kerja pada periode selanjutnya,” kata dia.
Menurut dia, sebaiknya pemerintah menunda kenaikan PPN ini di tengah melemahnya daya beli masyarakat Indonesia. “Deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut menunjukkan melemahnya daya beli masyarakat. Masih ada instrumen lain yang lebih elegan dan minim risiko untuk meningkatkan pendapatan nasional,” kata Hendry Munief.
Sementara Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang (UU). Menkeu menjelaskan penyusunan kebijakan perpajakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor.
Wacana PPN 12 persen tertuang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disusun pada 2021. Saat itu, pemerintah mempertimbangkan kondisi kesehatan hingga kebutuhan pokok masyarakat yang terimbas oleh pandemi Covid-19.
“Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok,” kata Sri Mulyani, dikutip dari laman Kantor berita Antara.
Dia mengatakan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga kesehatannya, dan pada saat yang sama, juga mampu berfungsi merespons berbagai krisis.
“Seperti ketika terjadinya krisis keuangan global dan pandemi, itu kami gunakan APBN,” kata dia.
Namun, dalam implementasinya nanti, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan berhati-hati dan berupaya memberikan penjelasan yang baik kepada masyarakat.
“Sudah ada UU-nya. Kami perlu menyiapkan agar itu (PPN 12 persen) bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik,” ucap Sri Mulyani.