Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma wa Shifat

0

JAKARTA — Tauhid terbagi menjadi tiga macam, di antaranya Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma wa Shifat. Seperti apa penjelasannya?

Dikutip dari buku Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, disebutkan “Iman itu adalah engkau (1) beriman kepada Allah, (2) Malaikat-Malaikat-Nya, (3) Kitab-Kitab-Nya, (4) Rasul-Rasul-Nya, dan (5) hari Akhir, serta (6) beriman kepada gadar yang baik maupun yang buruk.” (Hadits sahih, HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah.

Keenam prinsip keimanan tersebut adalah rukun iman, maka tidak sempurna iman seseorang kecuali apabila ia mengimani seluruhnya menurut cara yang benar, yang ditunjukkan oleh Alquran dan As-Sunnah, maka barang siapa yang mengingkari satu saja dari rukun iman ini, maka ia telah kafir.

Beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala artinya adalah berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga, serta ber-i’tiqad dan beramal dengannya, yaitu (1) Tauhid Rububiyyah, (2) Tauhid Uluhuyyah, dan (3) Tauhid Asma’ wa Shifat.

Tauhid Rububiyyah

Tauhid Rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yang dilakukan Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan, serta mengimani bahwasanya Dia adalah Raja, Penguasa, dan Rabb Yang mengatur segala sesuatu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اَلَا لَـهُ الۡخَـلۡقُ وَالۡاَمۡرُ‌ ؕ تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الۡعٰلَمِيۡنَ

“Ingatlah, segala penciptaan dan perintah hanya menjadi hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb seluruh alam.” (QS. AL-A’raf ayat 54)

Tauhid Uluhiyyah

Tauhid Uluhiyyah dikatakan juga Tauhidul Ibadah yang berarti mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka dapat mendekatkan diri kepada Allah, apabila hal itu disyariatkan oleh-Nya, seperti berdoa, khauf (takut), raja (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), ber-nadzar, isti’anah (meminta pertolongan), istighatsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah (meminta perlindungan), dan segala apa yang disyariatkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun. Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karena-Nya, dan ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah.

Sungguh, Allah tidak akan ridha jika dipersekutukan dengan suatu apa pun. Apabila ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya jatuh kepada syirkun akbar (syirik yang besar) dan tidak diampuni dosanya.

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا

“Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (mempersekutukan Allah dengan sesuatu), dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sungguh, dia telah tersesat jauh sekali.” (QS. An-Nisa ayat 116).

Tauhid Asma’ wa Shifat

Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya telah tetapkan atas Diri-Nya, baik itu dengan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mensucikan-Nya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam. Kita wajib menetapkan Nama dan Sifat Allah sebagaimana yang terdapat dalam Alquran dan As-Sunnah, dan tidak boleh ditakwil.

Al-Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad dan Sufyan ats-Tsauri radhiyallahum tentang berita yang datang mengenai Sifat-Sifat Allah, mereka semua menjawab:

أمروها كما جاءت بلا كيف

“Perlakukanlah Sifat-Sifat Allah secara apa adanya dan janganlah engkau persoalkan (jangan engkau tanyakan tentang bagaimana sifat itu).” (Diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar al-Khallal dalam Kitabus Sunnah, al-Lalika-i)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *