Menlu RI: Jangan Jadikan Situasi Ukraina, Palestina, Lebanon ‘a New Normal’
JAKARTA — Di sela-sela rangkaian Sidang Majelis Umum (SMU) PBB ke-79, Menteri Luar Negeri, Retno L.P. Marsudi bertemu dengan Mr. Luigi Di Maio, Perwakilan Khusus Uni Eropa untuk Kawasan Teluk. Retno mengatakan, Indonesia khawatir atas yang terjadi di Lebanon.
“Indonesia sangat khawatir dengan perkembangan situasi keamanan di Lebanon. Jangan jadikan situasi saat ini di Ukraina, Palestina, dan Lebanon menjadi ‘a new normal‘,” kata Retno, dikutip dari laman Kementerian Luar Negeri.
Dalam pertemuan, keduanya membahas perkembangan perdamaian, keamanan, dan kestabilan di kawasan Timur Tengah, khususnya isu Palestina. Retno kembali menekankan posisi konsisten Indonesia dalam mendukung penyelesaian konflik Palestina.
Retno menyampaikan apresiasi atas posisi Uni Eropa yang turut menyuarakan solusi dua negara. Retno juga membagikan sejumlah perkembangan langkah bersama Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam mendorong upaya perdamaian dan kemerdekaan Palestina, termasuk rencana pelaksanaan Ministerial Meeting on the Situation in Gaza and the implementation of the Two-State Solution as the Path to Just and Comprehensive Peace yang digagas OKI dan UE, pada Kamis (26/9/2024).
Dalam pertemuan, diangkat pula potensi kerja sama yang dapat dijajaki bersama Uni Eropa di Kawasan Teluk, termasuk kolaborasi Uni Eropa dengan Gulf Cooperation Council. Menutup pertemuan, keduanya menyampaikan komitmen untuk terus melanjutkan kerja sama erat Indonesia dan Uni Eropa.
Sementara dalam Debat Terbuka Tingkat Tinggi Dewan Keamanan PBB bertema “Leadership for Peace: United in Respect of the UN Charter, In Search of a Secure Future“, Retno menyerukan pentingnya kepemimpinan global untuk mencapai perdamaian, terutama dalam konflik yang berkepanjangan seperti di Palestina.
Retno menyampaikan keprihatinannya bahwa perdamaian masih belum ditemukan bagi rakyat Palestina. Ia menyoroti penderitaan yang dialami oleh rakyat Palestina, dengan 41 ribu orang terbunuh, jutaan orang terpaksa mengungsi, dan akses untuk bantuan kemanusiaan yang tertutup sepenuhnya. “Ketika kemanusiaan kita yang paling mendasar dipertanyakan, ini adalah gejala dari kegagalan kepemimpinan untuk perdamaian,” kata dia.