Kisruh Oplosan Pertamax menjadi Pertalite

Pom Bensin Pertamina dok.pertamina
JAKARTA — Saat ini publik tengah dihebohkan terkait oplosan Pertamax menjadi Pertalite. Permasalahan ini muncul ketika Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan tujuh tersangka terkait dugaan tindak pidana korupsi Tata Kelola Minyak Mentah pada Senin (24/2/2025).
Mengutip laman Kejagung RI, disebutkan dalam kasus ini, pada pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian untuk Ron 92. Padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 atau lebih rendah. Kemudian dilakukan blending di Storage atau Depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan.
Adapun RON 90 merupakan jenis bahan bakar minyak (BBM) yang memiliki nilai oktan sebesar 90. Pada produk Pertamina, RON 90 adalah Pertalite, sementara RON 92 yakni Pertamax.
Adapun tim Penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah mendapatkan alat bukti yang cukup untuk menetapkan tujuh Orang Tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada 2018 hingga 2023.
Tim Penyidik menyimpulkan telah terdapat serangkaian perbuatan tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara dari adanya alat bukti cukup, yakni, Pemeriksaan saksi sebanyak 96 orang, Pemeriksaan terhadap dua orang ahli, Penyitaan terhadap 969 dokumen,
Penyitaan terhadap empat puluh lima barang bukti elektronik.
Berdasarkan alat bukti permulaan yang cukup, Tim Penyidik menetapkan tujuh orang Tersangka di antaranya,
- RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
- SDS selaku Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertamina Internasional.
- YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
- AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
- MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
- DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim.
- GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Adapun kasus posisi dalam perkara ini yaitu dalam periode 2018 hingga 2023 pemenuhan minyak mentah dalam negeri seharusnya wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri. Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari Kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.
Hal itu sebagaimana tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri.
Akan tetapi berdasarkan fakta penyidikan, Tersangka RS, Tersangka SDS, dan Tersangka AP melakukan pengkondisian dalam Rapat Optimasi Hilir (OH). Hal ini dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor.
Pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS sengaja ditolak. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, maka PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang. Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi.
Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun.
Sementara Pertamina membantah tudingan adanya oplosan Pertamax menjadi Pertalite. Hal ini disampaikan Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso.
“Narasi oplosan itu tidak sesuai dengan apa yang disampaikan kejaksaan,” kata Fadjar mengutip laman Kantor Berita Antara.
Menurut Fadjar, terdapat narasi yang keliru ketika memahami pemaparan oleh Kejaksaan Agung. Fadjar menjelaskan bahwa yang dipermasalahkan oleh Kejaksaan Agung adalah pembelian RON 90 dan RON 92, bukan terkait adanya oplosan Pertalite menjadi Pertamax.
Dalam kesempatan tersebut, Fadjar menegaskan bahwa produk Pertamax yang sampai ke masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Sementara lembaga yang bertugas memeriksa ketepatan spesifikasi dari produk yang beredar di masyarakat adalah Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) yang berada di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Kami pastikan bahwa produk yang sampai ke masyarakat itu sesuai dengan speknya masing-masing,” kata Fadjar.