Dibalik Sunnah Mengambil Makanan yang Jatuh
JAKARTA — Sebagian orang tidak ingin mengambil makanannya yang jatuh ke lantai. Padahal Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam mensyariatkan untuk mengambil makanan yang jatuh.
Dikutip dari Buku Adab-Adab Makan Seorang Muslim oleh Dr. Aris Munandar S.S., M.P.I, Dari Jabir bin Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika makanan salah satu kalian jatuh maka hendaklah diambil dan disingkirkan kotoran yang melekat padanya, kemudian hendaknya dimakan dan jangan dibiarkan untuk setan”.
Dalam riwayat yang lain dinyatakan terkait makanan yang jatuh, “sesungguhnya setan bersama kalian dalam segala keadaan, sampai-sampai setan bersama kalian pada saat makan. Oleh karena itu jika makanan kalian jatuh ke lantai maka kotorannya hendaknya dibersihkan kemudian di makan dan jangan dibiarkan untuk setan. Jika sudah selesai makan maka hendaknya jari jemari dijilati karena tidak diketahui di bagian manakah makanan tersebut terdapat berkah.” (HR. Muslim no. 2033 dan Ahmad 14218)
Terdapat banyak pelajaran dapat diambil dari hadits di atas terkait mengambil makanan yang jatuh. Di antaranya setan itu selalu mengintai manusia dan menyertainya serta berusaha untuk mendapatkan bagian dari apa yang dilakukan oleh manusia. Setan menyertai manusia sampai-sampai pada saat makan dan minum.
Dalam hadits di atas Nabi memerintahkan untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada makanan yang jatuh ke lantai baik berupa tanah atau yang lainnya. Kemudian memakannya dan tidak membiarkan makanan tersebut untuk dinikmati oleh setan karena setan adalah musuh manusia, seorang musuh sepantasnya menghalangi musuhnya untuk mendapatkan kesenangan.
Hadits di atas juga menunjukkan bahwa keberkahan makanan itu terletak dalam makanan yang jatuh ke lantai, oleh karena itu manusia tidak boleh menyepelekannya. Ada satu catatan penting berkenaan dengan hadits diatas karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setan itu selalu menyertai manusia oleh karena itu manusia tidak boleh mengingkari hal ini sebagaimana tindakan sebagian orang.
Syaikh Muhammad Ibnu Shaleh al-Utsaimin mengatakan, “Jika ada makanan yang jatuh maka jangan dibiarkan akan tetapi diambil, jika pada makanan tersebut ada kotoran maka dibersihkan dan kotorannya tidak perlu dimakan karena kita tidaklah dipaksa untuk memakan sesuatu yang tidak kita sukai. Oleh karena itu kotoran yang melekat padamakanan tersebut kita bersihkan baik kotorannya berupa serpihan kayu, debu atau semacamnya. setelah kotoran tersebut dibersihkan hendaklah kita makan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan janganlah makanan tersebut dibiarkan untuk setan” karena setan selalu bersama manusia.
Jika ada orang hendak makan maka setan menyertainya, jika ada orang yang hendak minum maka setan juga menyertainya bahkan jika ada orang yang hendak menyetubuhi istrinya maka setan pun datang dan menyertainya. Jadi setan itu menyertai orang-orang yang lalai dari Allah.
Namun jika kita mengucapkan bismillah sebelum makan maka bacaan tersebut menghalangi setan untuk bisa turut makan. Setan sama sekali tidak mampu makan bersama kita jika kita sudah menyebut nama Allah sebelum makan, akan tetapi jika kita tidak mengucapkan bismillah maka setan makan bersama kita. Bila kita sudah mengucapkan bismillah sebelum makan, maka setan masih menunggu-nunggu adanya makananyang jatuh ke lantai. Jika makanan yang jatuh tersebut kita ambil maka makanan tersebut menjadi hak kita, namun jika dibiarkan maka setanlah yang memakannya. Jadi, setan tidak menyertai kita ketika kita makan maka dia menyertai kita dalam makanan yang jatuh ke lantai.
Oleh karena itu hendaknya kita persempit ruang gerak setan berkenaan dengan makanan yang jatuh. Oleh karena itu, jika ada suapan nasi, kurma atau semacamnya yang jatuh ke lantai maka hendaknya kita ambil. Jika pada makanan yang jatuh tersebut terdapat kotoran berupa debu atau yang lainnya, maka kotoran tersebut hendaknya kitasingkirkan dan makanan tersebut kita makan dan tidak kita kita biarkan untuk setan.” (Syarah Riyadhus Shalihin, Juz VII hal 245-246)